Rabu, 05 Maret 2014

Asal Usul Sejarah Bank Indonesia (Lengkap)

Asal Usul Sejarah Bank Indonesia (Lengkap)

Asal Usul Sejarah Bank INdonesia dibagi menjadi beberapa bagian.

1. Bagian Satu : Sejarah Perkembangan Bank Sentral di Nusantara
Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan internasional.
Sementara di daratan Eropa, merkantilisme telah berkembang menjadi revolusi industri dan menyebabkan pesatnya kegiatan dagang Eropa.
Pada saat itulah muncul lembaga perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di negeri Belanda.
Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang mengekspansi nusantara pada waktu yang sama.
VOC di Jawa pada 1746 mendirikan De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752.
 Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya.

Pada 24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB).
Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.

Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia Belanda untuk sementara waktu.
Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA).
Perbankan pun terbagi dua, DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA
sedangkan "Jajasan Poesat Bank Indonesia" dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI. Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda,
ditetapkan kemudian DJB sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS).

Status ini terus bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan.
Berikutnya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya.
Maka sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi Republik Indonesia.

2.Bagian Dua : Nusantara sampai dengan Awal Abad ke 19
Sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional.
Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang digunakan oleh para pedagang, jalur darat dan jalur laut.
Pada masa itu telah terdapat dua kerajaan utama di nusantara yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan internasional, yaitu Sriwijaya dan Majapahit.
Dalam maraknya perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang dijadikan nilai standar.
Meskipun masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk sederhana.

Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas wilayah penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara.
sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453),
penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis.
Kegiatan penjelajahan tersebut telah mendorong munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke 16–17.

Selanjutnya pada akhir abad ke-18 revolusi industri telah berlangsung di Eropa.
 Kegiatan industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan ekspor ke wilayah Asia dan Amerika.
Pesatnya perdagangan di Eropa memicu tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda.
 Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti
Bank of England (1773),
Riskbank (1809),
Bank of France (1800) berkembang menjadi bank sentral.

Munculnya Malaka sebagai emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa Portugis yang akhirnya pada 1511 berhasil menguasai Malaka.
Mereka terus bergerak ke arah timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku.
Di sana Portugis menghadapi bangsa Spanyol yang datang melalui Filipina.
Beberapa saat kemudian bangsa Belanda juga berusaha menguasai sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan Nusantara.

Dengan mengibarkan bendera VOC yaitu perusahaan induk penghimpun perusahaan-perusahaan dagang Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya di Batavia pada 1619.
Untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752.

Bank van Leening merupakan bank pertama yang beroperasi di Nusantara.
Pada akhir abad ke-18, VOC telah mengalami kemunduran, bahkan kebangkrutan.
Maka kekuasaan VOC di nusantara diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda.
Setelah masa pemerintahan Herman William Daendels dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.

Ratu Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk memerintah Hindia Timur.
Tetapi pemerintahan Raffles tidak bertahan lama, karena setelah usainya perang melawan Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda.
Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari
Elout,
Buyskes,
dan van der Capellen.

Pada periode inilah berbagai perbaikan ekonomi mulai dilaksanakan di Hindia Belanda.
Hingga nantinya Du Bus menyiapkan beberapa kebijakan yang mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank pada 1828.

3. Bagian Tiga : DJB berdasarkan Oktroi 1 s.d. 8
Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout ke Hindia Belanda.
Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank.
Pada saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka.

Meskipun demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9 Desember 1826.
Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu, atau lazim disebut oktroi.

Dengan surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya DJB.
Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28 tentang oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB.
Kemudian pada 24 Januari 1828 dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan akte pendirian De Javasche Bank (DJB).
Pada saat yang sama juga diangkat Mr. C. de Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai sekretaris DJB.

Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya.
Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838.
Pada periode oktroi keenam, DJB melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881.
Sesuai dengan akte baru DJB, status bank diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.).
Dengan perubahan akte tersebut, DJB dianggap sebagai perusahaan baru.
Oktroi kedelapan adalah oktroi DJB terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922.
Pada periode oktroi terakhir ini, DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda.
Oktroi kedelapan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu tahun sampai dengan 31 Maret 1922.

4.Bagian Empat : DJB Berdasarkan DJB Wet
Pada 31 Maret 1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet).
Bankwet 1922 ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 serta UU 13 November 1930.
Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari oktroi kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya.
Masa berlaku Bankwet 1922 adalah 15 tahun ditambah dengan perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada pembatalan oleh gubernur jenderal atau pihak direksi. Pimpinan DJB pada periode DJB Wet adalah direksi yang terdiri dari seorang presiden dan sekurang-kurangnya dua direktur, satu di antaranya adalah sekretaris.
Selain itu terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur pengganti I, dan direktur pengganti II.
Penetapan jumlah direktur ditentukan oleh rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris.
Pada periode ini DJB terdiri atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistik, sekretaris, bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.

Pada periode ini DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang,
antara lain: Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, serta kantor perwakilan di Amsterdam, dan New York.

DJB Wet ini terus berlaku sebagai landasan operasional DJB hingga lahirnya Undang-undang Pokok Bank Indonesia 1 Juli 1953.

5. Bagian Lima : DJB pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pecahnya Perang Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia Pasifik.
Militer Jepang segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Asia menuju Asia Tenggara.
Menjelang kedatangan Jepang di Pulau Jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha Wichers, berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika Selatan.

Pemindahan tersebut dilakukan lewat pelabuhan Cilacap.
Setelah menduduki Pulau Jawa pada bulan Februari-Maret 1942, tentara Jepang memaksa penyerahan seluruh aset bank kepada mereka.
Selanjutnya, pada bulan April 1942, diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran kewajiban-kewajiban bank.
Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina.
Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.

Fungsi dan tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang.

Sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden.
Sampai pertengahan bulan Agustus 1945, telah diedarkan invansion money senilai 2,4 milyar gulden di Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di Sumatera, serta dalam nilai yang lebih kecil di Kalimantan dan Sulawesi.
Sejak tanggal 15 Agustus 1945, juga masuk dalam peredaran senilai 2 milyar gulden, yang sebagian berasal dari uang yang ditarik dari bank-bank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi dicuri dari De Javasche Bank Surabaya dan beberapa tempat lainnya.
Hingga bulan Maret 1946, jumlah uang yang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah sekitar delapan milyar gulden.
Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda.

6. Bagian Enam : DJB Masa Revolusi
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945 telah disusun Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal Keuangan yang menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia untuk memperkuat adanya kesatuan wilayah dan kesatuan ekonomi-moneter.
Sementara itu dengan membonceng tentara Sekutu, Belanda kembali mencoba menduduki wilayah yang pernah dijajahnya.
Maka dalam wilayah Indonesia terdapat dua pemerintahan yaitu: pemerintahan Republik Indonesia dan pemerintahan Belanda atau Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA).

Selanjutnya NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan menugaskan DJB menjadi bank sirkulasi mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko.
Tidak lama kemudian DJB berhasil membuka sembilan cabangnya di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh NICA.
Pembukaan cabang-cabang DJB terus berlanjut seiring dengan dua agresi militer yang dilancarkan Belanda kepada Indonesia.
 Sementara itu di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia, dibentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia (Yayasan Bank Indonesia) yang kemudian melebur dalam Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/1946.

Namun demikian situasi perang kemerdekaan dan terbatasnya pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI sebagai bank sirkulasi.
Namun demikian pada 30 Oktober 1946, pemerintah dapat menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama Republik Indonesia.
Periode ini ditutup dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang memutuskan DJB sebagai bank sirkulasi untuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Bank Negara Indonesia sebagai bank pembangunan.

7. Bagian Tujuh : Periode Pengakuan Kedaulatan RI s.d. Nasionalisasi DJB
Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada saat itu, sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bank sentral tetap dipercayakan kepada De Javasche Bank (DJB).
Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada saat itu, kedudukan DJB tetap sebagai bank sirkulasi.
Berakhirnya kesepakatan KMB ternyata telah mengobarkan semangat kebangsaan yang terwujud melalui gerakan nasionalisasi perekonomian Indonesia.
Nasionalisasi pertama dilaksanakan terhadap DJB sebagai bank sirkulasi yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia.

Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953, bangsa Indonesia telah memiliki sebuah lembaga bank sentral dengan nama Bank Indonesia.

Sebelum berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter, perbankan, dan sistem pembayaran berada di tangan pemerintah.
Dengan menanggung beban berat perekonomian negara pasca perang, kebijakan moneter Indonesia ditekankan pada peningkatan posisi cadangan devisa dan menahan laju inflasi.
Sementara itu, pada periode ini, pemerintah terus berusaha memperkuat sistem perbankan Indonesia melalui pendirian bank-bank baru.

Sebagai bank sirkulasi, DJB turut berperan aktif dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam penyediaan dana kegiatan perbankan.
Banyaknya jenis mata uang yang beredar memaksa pemerintah melakukan penyeragaman mata uang.
Maka, meski hanya untuk waktu yang singkat, pemerintah mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan Oeang Republik Indonesia dan berbagai jenis uang lainnya.

Akhirnya, setelah sekian lama berlaku sebagai acuan hukum pengedaran uang di Indonesia, Indische Muntwet 1912 diganti dengan aturan baru yang dikenal dengan Undang-undang Mata Uang 1951.

8. Bagian Delapan : Presiden De Javasche Bank (1828 - 1953)
1. Mr. C. De Haan
Masa Jabatan dari tahun 1828 - 1838

2. C. J. Smulders
Masa Jabatan dari tahun 1838 - 1851

3. E. Francis
Masa Jabatan dari tahun 1851 - 1863

4. C. F. W. Wiggers van Kerchem
Masa Jabatan dari tahun 1863 - 1868

5. J. W. C. Diepenheim
Masa Jabatan dari tahun 1868 - 1870

6. Mr. F. Alting Mees
Masa Jabatan dari tahun 1870 - 1873

7. Mr. N. P. van den Berg
Masa JAbatan dari tahun 1873 - 1889

8. S. B. Zeverijn
Masa Jabatan dari tahun 1889 - 1893

9. D. Groeneveld
Masa Jabatan dari tahun 1893 - 1898

10. J. Reijsenbach
Masa Jabatan dari tahun 1898 - 1906

11. Mr. G. Vissering
Masa Jabatan dari tahun 1906 - 1912

12. E. A. Zeilinga Azn.
Masa Jabatan dari tahun 1912 - 1924

13. Mr. L. J. A. Trip
Masa Jabatan dari tahun 1924 - 1929

14. Mr. Dr. G. G. van Buttingha Wichers
Masa Jabatan dari tahun 1929 - 1945

15. Dr. R. E. Smits
Masa Jabatan dari tahun 1945 - 1949

16. Dr. A. Houwink
Masa Jabatan dari tahun 1949 - 1951

17. Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Masa jabatan dari tahun 1951 - 1953

9. Bagian Sembilan : Gubernur - Gubernur Bank Indonesia (1953 - Sekarang)
1. Mr . Sjafrudin Prawiranegara
Masa Jabatan dari tahun 1951 - 1953
2. Mr. Loekman Hakim
Masa Jabatan dari tahun 1953 - 1959

3. Mr. Soetikno Slamet
Masa Jabatan dari tahun 1959 - 1960

4. Mr. Soemarno
Masa Jabatan dari tahun 1960 - 1963

5. T. Jusuf Muda Dalam
Masa Jabatan dari tahun 1963 - 1966

6. Radius Prawiro
Masa Jabatan dari tahun 1966 - 1973

7. Rachmat Saleh
MAsa Jabatan dari tahun 1973 - 1983

8. Arifin Siregar
Masa Jabatan dari tahun 1983 - 1988

9. Adrianus Mooy
Masa Jabatan dari tahun 1988 - 1993

10. J. Soedradjad Djiwandono
Masa Jabatan dari tahun 1993 - 1998

11. Sjahril Sabirin
MAsa Jabatan dari tahun 1998 - 2003

12. Burhanuddin Abdullah
Masa Jabatan dari tahun 2003 - 2008

13. Boediono
Masa Jabatan dari tahun 2008 - 2009

14. Darmin Nasution
Masa Jabatan dari tahun 2009 - 2014

10. Sekilas Perjalanan PAnjang Bank Indonesia (1828 - 2008)
1828:
De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank sirkulasi
yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang.

1953:
Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank Indonesia
untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral, dengan tiga
tugas utama
di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran.
Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya dengan
Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh DJB
sebelumnya.

1968:
Undang-Undang Bank Sentral mengatur kedudukan dan tugas Bank Indonesia
sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang melakukan fungsi
komersial.
Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank Indonesia juga bertugas
membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong kelancaran
produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna
meningkatkan taraf hidup rakyat.

1999:
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU No.23/1999 yang
menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah.

2004:
Undang-Undang Bank Indonesia diamandemen dengan focus pada aspek penting
yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk
penguatan governance.

2008:
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PerPPU) No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23
tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas
sistem keuangan.
Amandemen dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan
perbankan nasional dalam menghadapi krisis global melalui peningkatan akses
perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia.


Bank Indonesia memiliki beberapa Kantor cabang diberbagai kota yang ada di Indonesia.
1. Medan
2. Banda Aceh
3. Pematang siantar
4. Lhokseumawe
5. Sibolga
6. Padang
7. Pekanbaru
8. Jambi
9. Batam
10. Palembang
11. Bengkulu
12. Bandar Lampung
13. Bandung
14. Serang
15. Cirebon
16. Tasikmalaya
17. Tegal
18. Semarang
19. Yogyakarta
20. Solo
21. Purwokerto
22. Surabaya
23. Malang
24. Kediri
25. Jember
26. Denpasar
27. Mataram
28. Kupang
29. Banjarmasin
30. Pontianak
31. Palangkaraya
32. Gorontalo
33. Samarinda
34. Balikpapan
35. Makassar
36. Manado
37. Palu
38. Kendari
39. Ternate
40. Ambon
41. Jayapura

Bank Indonesia juga memiliki kantor Representative diluar negeri :
1. Singapore
2. Tokyo
3. London
4. New york

Bank Indonesia memiliki museum yang bisa dikunjungi :
dari hari Selasa  - Jumat : Pkl. 08.00 - 15.30 Wib
dari hari Sabtu  - Minggu : Pkl. 08.00 - 16.00 Wib
Senin & Hari Libur NAsional Tutup

Gratis untuk masuk ke Museum Bank Indonesia
Alamat  Museum Indonesia
Jl. Pintu Besar Utara No. 3
Jakarta Barat - Indonesia 
Telp. (6221) 2600158
Ext.8111, 8102, 8100
Up : Gede Aryana 
Fax.62-21-2601730 
Email: museum@bi.go.id

Alamat Kantor Pusat Bank Indonesia
Jl. MH. Thamrin 2 Jakarta 10350 Indonesia
Telp. (6221) 2310108 (ext. 7317)
Email Humas : humasbi@bi.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar